Senin, 18 April 2011

Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Cina

Bomanto A.Mirasi

Saya ingat sebuah kalimat dalam pendidikan Islam, "tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Kalimat tersebut hampir selalu saya maknai dengan kesadaran bahwa menuntut ilmu itu sangat perlu meskipun harus pergi ke tempat yang jauh untuk mendapatkannya. Itu juga bermakna: ilmu itu sangat penting dalam kehidupan ini. Mungkin semua aktifitas membutuhkan ilmu, baik aktifitas untuk dunia maupun untuk akhirat.
Sayangnya pemahaman tentang ilmu itu penting dan sangat diperlukan seringkali tidak dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan dan menerapkannya.Saya dan mungkin sebagian besar rakyat Indonesia hampir selalu menginginkan yang instan dan serba mudah. Jika menginginkan sesuatu selalu mengharapkan segera terwujud hanya dengan sim salabim aba kadabra. Hampir tidak ada usaha. Kalaupun ada usaha cukup sekedarnya saja, setengah-setengah. Ilmu tidak sempurna didapat dan ketika digunakan pun terasa kurang bermanfaat. Tentu saja hasil yang diperoleh menjadi klurang maksimal.
Celakanya, kita tidak terbiasa belajar kepada sesama kita. Yang paling biasa dan paling sering terjadi adalah merasa benci, iri, dan dengki terhadapkeberhasilan sesamanya.Padahal, menurut informasi yang pernah saya dengar, saling membenci itu melahirkan energi negatif yang sangat besar pada diri kita dan memberikan energi positif yang sangat besar kepada orang yang dibenci. Setiap saat energi positif kita terkurans untuk memikirkan hal-hal negatif yang kurang produktif dan kurang bermanfaat sementara orang yang kita benci terus berjuang untuk menjadi lebih baik  dan lebih baik lagi.
Ya, kalau ada teman yang sukses, jarang kita bertanya: bagaimana caranya kamu bisa sesukses ini? Bagi-bagi ilmunya, dong. Yang sering kita lakukan justru sebaliknya, kan? Teman beli motor baru, kita jadi stress pengen punya motor baru pula. Tetangga punya rumah bagus, bisa cukup makan, kita malah pusing cari akal supaya tetangga tersebut terusir dari kampung karena dianggap nyupang dan memelihara tuyul. Jarang kita melakukan pendekatan, ngangsu kaweruh, dan membangun kerja sama yang baik. Jarang. Yang sering dibanggakan malah sikap permusuhan, gontok-gontokan. Yang sukses dan kaya jadi tinggi hati, sok, dan jahat, yang tidak sukses jadi minder, iri, dengki dan jahat. Ketemu deh akhirnya.
Bayangkan, bagaimana kita bisa membangun diri dan bangsa bila dalam suasana permusuhan? Membangun perlu ketenangan, konsentrasi energi, dan keyakinan atas keberhasilan. Kalau tidak? Ya, biasanya setengah jalan.
Eh, ngomong-ngomong, produk-produk Cina sudah banyak di Indonesia, sekarang. Mungkin ini bisa diartikan: kita nggak perlu pergi ke negeri Cina karena Cinanya sudah datang ke Indonesia, hehehe.
NB: kunjungi juga ya?

Minggu, 17 April 2011

Ayam Kelaparan di Lumbung Padi

Oleh Bomanto A. Mirasi
Seorang teman saya pernah berkata, "Orang Indonesia ibarat ayam yang mati kelaparan di lumbung padi." Sebuah ungkapan yang sudah agak umum, memang, dan saya yakin bukan dia yang mengucapkan kalimat tersebut pertama kali, tetapi bagi saya kalimat itu masih terasa menggelitik dan mengajak saya berpikir dan merenung. Setidaknya saya jadi teringat informasi-informasi yang pernah saya dengar sebelumnya bahwa negeriku ini kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Hampir semua ada di negeri ini. Alam menyediakan semuanya. Lautnya luas dan kaya akan ikan dan bahan mineral, daratannya menyimpan emas, minyak, batubara, biji besi, yang mungkin cukup untuk dipakai sendiri dan sebagainya. Tapi kenyataannya sebagian besar rakyatnya hidup melarat, hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebenarnya ini bukan bermaksud menyalahkan keadaan melainkan mengajak merenung dan berpikir serta menyadari bahwa kenyataan seperti ini memang ada. Kenyataan pahit yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan logika dan perhitungan atas potensi yang tersedia. Banyak bangsa lain yang negaranya kecil, tandus, dan miskin tetapi rakyatnya hidup makmur bertolak belakang dengan bangsa kita. Lihatlah Singapura dan Brunai. Negara-negara tersebut hampir tak terlihat dalam peta, tetapi kabarnya rakyatnya lumayan sejahtera.
Pasti ada yang salah dalam hal ini. Tapi apanya yang salah? Siapa yang salah?
Jawaban atas pertanyaan tersebut hampir tidak ada gunanya untuk diperdebatkan. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga hampir tidak ada gunanya apabila lahir dari satu atau dua orang anak negeri ini. Lebih tidak berguna lagi kalau hanya dipikirkan dan diterapkan oleh satu atau dua anak negeri ini. Seharusnya seluruh anak negeri menemukan kesepahaman meskipun dalam perbedaan. Seharusnya seluruh anak negeri memiliki kesadaran kolektif yang positif untuk membangun negeri yang kita cintai ini.
Mulai sekarang kita harus belajar dan menyadari bahwa negeri Indonesia ini kaya raya dan bisa menjadikan rakyatnya hidup sejahtera. Mulai sekarang kita harus yakin bahwa kita mampu mengelola kekayaan negeri ini. Berhentilah menyerahkan pengelolaannya kepada bangsa lain. Saya tidak bermaksud mengajak memusuhi bangsa lain. Bukan. Saya hanya ingin mengajak menyadari bahwa kita semua sederajat dan memiliki harga diri seperti bangsa lain.
Saya pernah merasa trenyuh mendengar bangsaku mengcari penghidupan di negara lain hanya sekedar jadi pembantu, tukang pasang baut dan mur, paling banter jadi sopir dan hak-hak seadanya. Lebih trenyuh lagi setiap kali mendengar dan melihat mereka teraniaya, terhina, bahkan ada yang sampai tewas. Apakah Ibu Pertiwi sudah tidak mampu memberi? Apakah Ibu Pertiwi hanya memberi yang terbaik untuk bangsa lain? Cobalah renungkan kawan, orang asing yang bekerja di Indonesia memiliki posisi terhormat, misalnya: Direktur, Manager, Tenaga Ahli, dan Mandor. Mereka mendapat gaji puluhan sampai ratusan juta per bulan. Ya, per bulan. Di apartemennya, mereka memiliki babu orang Indonesia. Coba pikir, siapa yang seharusnya menjadi tuan? Mengapa kita menjadi babu dan jongos orang asing? Kasihan sekali bangsaku ini, merantau ke negeri lain menjadi pembantu, hidup di negeri sendiri juga menjadi babu. Kapan bisa maju?

Minggu, 10 April 2011

Norman Kamaru Mungkin Tak Menyangka Bakal Ngetop

Sejak videonya beredar luas dan diunduh banyak orang dari dunia maya, Briptu Norman Kamari jadi ngetop. Anggota Brimob Polda Gorontalo ini langsung jadi bahan pembicaraan di di masyarakat. Media massa cetak maupun elektronik juga sibuk membicarakannya. Videonya yang berisi libsing lagu Chaiyya- Chaiyya langsung diburu banyak penggemar, dicari dan didownload dari internet. Sampai sekarang, khabarnya, sudah jutaan orang yang mendownload video tersebut.
Briptu Norman Kamari sendiri mungkin tak pernah menyangka dirinya bakal ngetop seperti sekarang. Khabarnya, lelaki yang berbadan tegap tersebut memang biasa menghibur teman-temannya yang sedang jenuh saat bertugas.  “Saat itu teman saya seharian tidak pernah senyum. Katanya sedang stres karena ada masalah dengan istrinya. Dari situlah,saya berinisiatif membuat video ini.Tapi,saya tidak tahu siapa yang telah meng-upload video ini ke Youtube,”kata Norman. Sebagaimana yang terekam di video, teman Norman yang duduk di sebelahnya sama sekali tidak bereaksi.Teman Norman tersebut tampak cuek dan terus memainkan ponsel.Tak lama kemudian, datang lagi satu anggota Brimob.Dia juga cuek,tak memperhatikan Norman yang asyik berdendang India.Sesekali, Norman menggoda temannya yang serius menatap ponsel di tangannya. “Setelah selesai direkam lalu saya tunjukkan hasilnya ke teman saya.Ternyata dia senyum dan enggak sedih lagi. Sekali lagi rekaman ini hanya untuk menghibur teman saya,”katanya seperti dikutip Seputar Indonesia.
Sekarang, Briptu Norman mendapatkan banyak sekali tawaran untuk menghibur penggemarnya. Beberapa instansi dengan senang hati menerima kehadirannya. Baru-baru ini dia diuandang dan hadir di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta setelah sebelumnya sempat tampil di Bukan Empat Mata, Trans 7.
 Begitulah anggota brimob Polda Gorontalo ini ngetop dengan cepat. Tapi perlu diingat, ngetop semacam ini mudah pula lenyap. Dulu, Sinta dan Jojo juga pernah mendadak ngetop dengan libsing Keong Racun-nya.